Jumat, 12 Oktober 2012

Beberapa Penyebab Telur Perkutut Tidak Menetas



Bagi penangkar burung perkutut, telur menjadi salah satu modal utama dalam usahanya. Sebab dari telurlah, penangkar bisa memperoleh piyik-piyik baru, kemudian dipelihara sampai remaja atau dewasa untuk dijual. Namun karena beberapa faktor, tidak semua telur bisa menetas. Untuk meningkatkan keberhasilan usahanya, penting bagi penangkar perkutut untuk mengetahui faktor penyebab telur tidak menetas.
Faktor pertama adalah umur kedua induknya, baik induk jantan maupun induk betina. Dalam dunia peternakan, termasuk perburungan, dikenal istilah umur dewasa kelamin. Istilah ini dapat diartikan sebagai umur di mana burung mencapai kematangan kelamin. Saat itulah burung betina sudah bisa menghasilkan sel-sel telur di dalam ovarium yang akan membesar dan bercangkang di uterus, sampai akhirnya keluar menjadi telur.
Sedangkan burung jantan dikatakan mencapai dewasa kelamin ketika ia sudah bisa menghasilkan spermatozoa (sel-sel sperma), yang akan disemprotkan ke sel-sel telur saat mengawini betina. Jika dikonotasikan pada manusia, umur dewasa kelamin pada burung adalah masa akil baliq pada manusia. Remaja putri mencapai akil baliq jika sudah mendapatkan haid, sedangkan remaja putra sudah mengalami mimpi basah.
Secara biologis, perkutut betina dan jantan sudah bisa kawin dan menghasilkan anakan sejak keduanya mencapai umur dewasa kelamin. Persoalannya, sebagaimana pada manusia, kualitas anakan menjadi kurang baik jika kedua orangtuanya kawin terlalu muda.
Itu sebabnya, perlu manajemen perkawinan pada penangkaran perkutut agar telur bisa menetas dengan baik, dan piyik-piyik yang dihasilkan pun berkualitas. Dewasa kelamin pada perkutut terjadi pada umur 6 bulan, tetapi idealnya dikawinkan jika umurnya sudah satu tahun atau lebih.
Jika dikawinkan terlalu muda, potensi kegagalan penetasan telur menjadi lebih besar, terutama karena material telur yang dihasilkan organ reproduksi memang belum matang secara sempurna. Di masa peralihan dari remaja ke dewasa, perkutut jantan maupun betina juga terlihat lebih agresif, yang bisa membahayakan keamanan dan keselamatan telur-telur yang dieraminya.
Faktor kedua adalah telur yang infertil. Yang dimaksud telur infertil adalah telur yang keluar dari kloaka induk betina, tetapi tidak dibuahi oleh sel sperma induk jantan. Misalnya induk jantan mengawini induk betina pukul 08.00, dan ini merupakan perkawinan pertama pasangan tersebut. Satu jam kemudian, induk betina bertelur. Telur yang dihasilkan ini jelas tidak dibuahi sel sperma, karena sel telur sudah terbentuk 24-25 jam sebelumnya. Perlu diketahui, perkutut betina yang tidak dikawini pejantan pun tetap bisa bertelur, sepanjang pakan yang dikonsumsinya bergizi.
Faktor ketiga, induk jantan atau induk betina, atau malah keduanya, mengindap penyakit yang tidak terdeteksi dengan baik. Dalam beberapa kasus, perkutut yang mengalami berak kapur secara fisik terlihat sehat. Jika kita jeli, burung ini pasti menghasilkan kotoran berwarna putih. Ketika induk sakit mengerami telurnya, bakteri penyakit berak kapur bisa menyerang telur sehingga embrio terinfeksi dan mati di dalam telur.
Faktor keempat, telur berasal dari pasangan perkutut yang memiliki hubungan darah terlalu dekat. Dalam teori genetika, perkawinan antara dua individu yang masih sedarah sangat tak dianjurkan, karena keduanya memiliki hubungan sedarah. Dampak yang bisa terjadi antara lain embrio atau calon anak yang ada di dalam telur cenderung lemah, bahkan sering mati terlebih dulu sebelum telur menetas.
Hanya saja, persoalan ini kerap menjadi perdebatan di kalangan penangkar perkutut. Pasalnya, beberapa penangkar justru menganggap perkawinan sedarah bisa menghasilkan anakan berkualitas. Beberapa penangkar perkutut di Thailand pun sudah mempraktikkan hal ini. Jika  ada pakar yang bisa menjembatani perdebatan ini, silakan berkomentar untuk mencerahkan kita semua.
Faktor kelima, bentuk sarang yang terlalu cekung, sehingga pengeraman telur menjadi tidak sempurna. Usahakan bahan sarang disusun agak mendatar, terutama di bagian tengah. Sarang yang terlalu lembab (misalnya basah) juga harus segera diganti, karena bisa menggagalkan proses penetasan telur.  
Faktor keenam adalah temparatur udara, terutama yang berkaitan dengan iklim. Perkutut merupakan burung endemik yang banyak dijumpai mulai dari Asia Tengah, Indochina, sampai Asia Tenggara. Ketiga kawasan ini beriklim tropik, dan hanya mengenal dua musim: hujan dan kemarau.
Pada musim hujan, temperatur udara lebih dingin daripada musim kemarau. Berdasarkan pengalaman para penangkar, pada musim hujan, telur lebih sulit menetas daripada di musim kemarau. Fakta ini juga terjadi pada derkuku, burung yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan perkutut.

Peneropongan Telur
Demikian beberapa faktor penyebab telur perkutut tidak menetas. Apabila masa pengeraman sudah berlangsung 15 hari atau lebih, dan telur tidak juga menetas, bisa dipastikan pengeraman gagal. Itu berarti ada waktu yang terbuang sia-sia, karena menunggu tanpa hasil.
Untuk menghindari kemungkinan buruk tersebut, sebaiknya kita perlu mengontrol kondisi telur saat pengeraman memasuki hari kelima hingga ketujuh. Caranya, saat induk mencari makan, ambil telur-telur yang sudah dierami dan periksa dengan bantuan kotak peneropongan telur (box candling) atau bisa juga menggunakan senter.Anda bisa membuat sendiri alat peneropong telur tersebut, bahkan dari kaleng bekas susu kental manis pun bisa.



Letakkan telur hingga menempel lubang kotak atau lampu senter. Amati bagian dalam dari telur. Jika terlihat ada noktah berwarna merah, atau agak kehitaman, berarti di dalam telur terdapat embrio. Jika di dalam telur terlihat bening, berarti tidak ada embrio di dalamnya alias telur infertil.



Jika mendapatkan telur infertil, sebaiknya langsung dibuang agar waktu tidak terbuang sia-sia. Segera mandikan induk, lalu diberi suplemen perangsang birahi agar ia mau kawin lagi. Dengan cara demikian, burung bisa bertelur lagi dalam waktu 1-2 minggu. (*)