Jumat, 12 Oktober 2012

Burung Takahe Belum Punah




Pada akhir abad ke-19, masyarakat dunia pernah dikejutkan dengan penemuan empat spesimen burung takahe di Selandia Baru. Temuan para ahli perunggasan di tahun 1898 ini memunculkan dugaan bahwa burung endemik yang hanya ada di Selandia Baru itu memang sudah punah. Benarkah demikian?

Ternyata tidak! Setengah abad kemudian, tepatnya pada 20 November 1948, ahli perburungan Geoffret Orbell menemukan sekelompok burung takahe di sekitar Danau Te Anau di Pegunungan Murchison, Pulau Selatan, Selandia Baru. Meski populasinya sudah sangat langka, sehingga statusnya dinyatakan Terancam Punah, takahe hingga kini masih eksis di kawasan tersebut.
Dalam dunia perunggasan, burung takahe memiliki nama latin Porphyrio hochstetteri. Nama ini diberikan pada tahun 1883 sebagai penghormatan terhadap geolog asal Austria, Ferdinand von Hochstetter.  Sekitar 16 tahun sejak ditemukan, takahe tiba-tiba dinyatakan punah karena penemuan empat spesimen burung tersebut: dugaan yang terbukti keliru.
Berdasarkan taksonomi (tatanama biologi), burung takahe berada dalam ordo Gruiformes, keluarga Rallidae, dan genus Porphyrio. Takahe merupakan burung berpostur terbesar di keluarga Rallidae. Ia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Takahe Pulau Utara (Porphyrio mantelli) yang benar-benar sudah punah dan hanya diketahui dari sisa-sisa kerangkanya saja.

Tidak Bisa Terbang
Takahe termasuk salah satu burung unik. Meski bobotnya tidak terlalu berat, rata-rata sekitar 3 kg dengan tinggi 63 cm, burung ini tidak bisa terbang. Mungkin karena ukuran sayapnya yang relatif kecil dibandingkan dengan panjang dan tinggi tubuhnya. Kedua kakinya sangat kuat, sedangkan paruhnya besar.
Takahē dewasa umumnya berwarna ungu-kebiruan, dengan punggung berwarna hijau. Paruh berwarna kemerahan, sedangkan lutut berwarna merah muda. Burung jantan dan betina memiliki warna yang sama, tetapi ukuran tubuh takahē betina lebih kecil. Adapun anak takahe berwarna cokelat pucat.
Suaranya yang keras dan berisik membuat burung ini tidak diminati masyarakat Selandia Baru sebagai satwa peliharaan. Coba kalau ada warga yang mau menangkarkan, mungkin bisa mencegah ancaman kepunahan, bahkan bisa dijadikan burung lomba yang unik. (*)