Bayangan hitam besar itu muncul entah dari mana, menjejak bumi tanpa suara di tekukan sungai seberang. Teropong itu sekarang sudah melekat kencang di mata, entah bagaimana nasib cangkir kopi yang masih penuh tadi. Mahluk hitam tadi, burung, Ibis karau, Pseudibis davisoni, Ibis paling langka di dunia. Dia lelaki yang beruntung.
Halaaah, itu pembukaan kok ndak saya banget yak?! Saya itu sedang berusaha menggambarkan suasana indah yang muncul karena berjumpa mahluk super langka. Lha kok suasananya? bukan mahluknya yang diindah-indahkan. Itulah soalnya, mahluk yang bernama Ibis karau ini buat banyak orang ndak indah dipandang mata, ndak bisa bikin jatuh cinta pada pandangan pertama seperti kalau melihat merak yang sedang ngibing dahsyat dipacu birahi itu.
Coba saja lihat morfologinya, paruhnya panjang bengkok ke bawah, kepalanya yang kecil itu "gundul" tapi ya kegundulannya itu tak mencegahnya untuk tetap mengenakan bando berwarna terang. Tubuhnya? seperti tak seimbang dan kaki-kakinya kurang jenjang. Tubuh didominasi warna gelap dengan seleret putih pada bagian bahunya yang lantas dijadikan nama burung ini dalam Bahasa Inggris, White-shouldered Ibis. Tengok juga gaya berjalannya, halah ... sudahlah.
Ketidak indahan itu mungkin menjadi salah satu sebab kenapa dia tak terperhatikan, tidak sebagaimana elang yang gagah atau cendrawasih yang molek. Walaupun Ibis karau saat ini menyandang status keterancaman tertinggi, Kritis (Critically Endangered), tak banyak yang perduli atau bahkan kenal dengannya.
Dahulunya burung ini terdapat di Cina bagian selatan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia dan Indonesia (Kalimantan). Bebas berkeliaran di hutan-hutan dan di rawa-rawa Saat ini dia hanya bisa dijumpai di Vietnam bagian selatan, Laos bagian selatan, di utara Kamboja dan di Indonesia di Kalimantan Timur, Tengah dan Selatan. Jumlah yang tersisa juga tidak lagi banyak.
Kenapa pula dia lantas menghilang? Ada beberapa hal yang dituding jadi penyebabnya, dan biangnya ya manusia lagi. Hutan dan rawa yang jadi rumah sang Ibis diutak-atik sak enak udel. Hutannya dibabati dan rawanya dikeringkan, mungkin mikirnya kalau semua hutan dan rawa itu ya punya'nya sendiri, mahluk lain cuma ngontrak, akibatnya banyak korban termasuk si Ibis ini. Sang Ibis lantas mencoba bertahan dengan mengikuti perubahan jaman, mereka mulai sering terlihat di lahan-lahan persawahan manusia yang dulunya rawa rumah mereka.
Tapi ya ndak aman juga, mereka diuber-uber, diganggu, dan dibunuh (katanya dagingnya layak santap). Padahal kalau dia dibiarkan saja di sawah ya juga bisa bantu-bantu mengurangi hama dan gulma lho. Makanannya Ibis ini serangga dan biji-bijian rumput. Mungkin karena ada yang ndak nyambung, sawahnya lantas disemproti racun pembunuh serangga, habis jugalah makanan Ibis di sawah.
Rupa tidak indah, tubuh tak simetris, jalannya tidak anggun, klayaban di tempat-tempat becek, holoh holoh, kok ya ndak ada indah-indahnya sih? Tambahan lagi, burung ini tak muncul dalam hikayat tua, tak sebagaimana saudara jauhnya Sacred Ibis dari Mesir yang lantas diidentikan dengan dewa agung bangsa Mesir kuno, Toth. Mitologi kuno menceritakan bagaimana Toth merubah 360 hari dalam setahun menjadi 365 hari setelah dia menang berjudi dengan bulan dan mendapatkan 5 hari tambahan dalam setahun. Lantas, apakah Ibis karau juga harus berjudi dengan manusia untuk mendapatkan kesempatan agar bisa tetap hadir di bumi.
Tak usahlah rasanya dia dipaksa harus berjudi untuk hidupnya dan tak usah jugalah dia lantas dipaksa menjadi cantik agar dapat sekedar lirikan. Jika kita belum kikir perhatian tengoklah kembali Ibis yang satu ini, mungkin kita saja yang belum bisa menangkap keindahannya itu.