Harga burung robin terbang tinggi lantaran pasokan seret
Saat wabah flu burung merebak, burung robin dari luar negeri sempat dilarang masuk ke Tanah Air. Para pecinta burung robin pun harus rela melepasnya ke alam. Meski larangan impor dicabut, pasokan robin masih terbilang seret sampai sekarang.
Hampir lima tahun burung robin hilang di pasaran. Flu burung menyebabkan burung robin sulit dicari di pasaran. Selain kehilangan keindahan warnanya, para pecinta burung ini juga mulai merindukan kicau burung mungil ini.
Saat ini, para pecinta burung mulai lagi mencari pemasok robin, termasuk Yudha Tri Darma, penjual burung robin di Bekasi. Maklum, dia mulai mendapat banyak pesanan burung robin. “Mereka adalah para pecinta burung tahun 1990-an yang ingin bernostalgia,” ujar Yudha.
Menurut Yudha, setahun belakangan ini para pecinta robin mulai mencari informasi penjualan robin lewat beberapa komunitas pecinta burung di internet. Jumlahnya yang minim membuat Yudha kesulitan mencari robin. “Saya cari di pasar burung di Pramuka nihil. Kalaupun ada, robin lokal dari Bali,” ujarnya.
Seperti juga burung robin impor, robin lokal juga banyak dicari oleh penggemar burung yang gemar berkicau ini. Apalagi, robin lokal banyak juga yang merupakan hasil persilangan robin impor dan lokal.
Sebagai catatan, saat flu burung merebak, pemilik robin wajib melepasnya ke alam bebas. “Salah satunya di Cagar Alam Lombok,” imbuh Eko Prasetyo, penjual burung robin di Surabaya. Dari sinilah terjadi perkawinan robin impor dengan robin lokal.
Meski hasil perkawinan lokal dan impor, fisik robin lokal mirip dengan robin impor. Bedanya terletak pada kekuatan burung. Robin lokal lebih tahan segala cuaca karena sudah beradaptasi dengan alam tropis. “Umur robin lokal juga lebih panjang, bisa sampai lima tahunan,” ujarnya.
Lantaran banyak permintaan sementara pasokan minim membuat harga robin terbang. Tahun 1990, harga robin hanya berkisar antara Rp 50.000 sampai Rp 75.000 per ekor. Sekarang, harganya bisa naik 10 kali lipat, bahkan bisa mencapai Rp 1 juta seekor.
Para pedagang burung robin sejatinya sudah memesan burung dari China dan Belanda. Cuma mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk mendapatkan pesanan. Itupun dalam jumlah sangat terbatas. “Butuh waktu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan dua pasang burung robin jantan dan betina,” kata Stevanus, penjual robin di Yogyakarta. Ia mendapat burung robin dari Jakarta.
Stevanus menjual robin berumur 1,5 tahun dengan harga Rp 1,1 juta. “Karena berasal dari Belanda, harganya mahal dibandingkan robin dari China atau Taiwan,” kata Stevanus berpromosi.
Dengan jumlah yang terbatas, Stevanus menjual empat burung per bulan. Ia menjual via internet. Saat robin sudah di tangan, Stevanus akan menyebarkan informasi itu ke internat. “Responnya sangat cepat. Paling lama tiga hari, robin sudah ludes terjual,” ujarnya senang.
Hoki menjual burung berkicau juga dirasakan Eko. Eko bisa menjual hingga 10 burung dengan rentang harga Rp 450.000 hingga Rp 800.000 sepekan. “Harga robin kian mahal kalau makin besar dan cerah warnanya,” kata Eko.
Eko biasanya menjual 20 ekor sebulan. Sayang, meskipun banyak yang memesan si robin, Eko tak mampu memenuhi permintaan yang kian banyak lantaran pasokan robin di pasaran juga minim.